Ilustrasi.
Di suatu senja, tanpa janji, tanpa isyarat,
datanglah gadis dengan mata serupa syair,
tanpa maksud mencuri, tanpa niat merenggut,
hanya angin yang berbisik, menggetarkan yang beku.
Aku laki-laki dengan nama di jari,
dengan rumah yang telah berakar dalam waktu,
dengan cerita yang tak seharusnya bercabang,
tapi hadirmu…seperti hujan di kemarau panjang.
Tak ada rencana, tidak pula kesadaran,
hanya percakapan yang terlalu dalam,
hanya senyum yang menjadi nyala,
hanya tatap yang tak ingin berpisah.
Lalu segala batas menjadi kabur,
malam menjadi ruang tanpa penjaga,
dan aku… aku yang dulu yakin pada janji,
mulai menggantungkan harapan di sayapmu.
Tapi engkau, gadis dengan hati serupa ombak,
yang tahu kapan datang dan kapan menjauh,
berjalan pergi saat aku sudah tak memiliki tepi,
saat separuh jiwaku telah kautawan.
Kau pergi bukan karena benci,
bukan pula karena tak cinta,
tapi karena cinta yang tak seharusnya dimiliki,
adalah luka yang tak boleh diwariskan.
Aku tinggal dengan tangan kosong,
dengan malam-malam yang mengusir tidur,
dengan doa-doa yang hanya gema,
dan nama yang kusebut dalam diam.
Dan jika nanti di ujung waktu
Kita bertemu dengan hati yang telah lapang
Aku ingin tersenyum dan berkata,
“Terima kasih telah mengajarkanku arti kehilangan".
M.Ng. Fajar Setiawan Wartoprasetyo
Posting Komentar