GARDAJATIM.COM: Baru-baru ini media menyoroti terkait dengan persoalan kemoloran pembayaran penjualan tembakau jenis Grompol yang di alami oleh para petani tembakau di kabupaten Pacitan.
Selain itu, harga jual yang sangat rendah juga turut menjadi perhatian. Komoditas tembakau yang selama ini digembar-gemborkan oleh pemerintah daerah, ternyata di dalamnya juga banyak sekali permasalahan.
Bagaimana tidak, harga jual tembakau basah jenis Grompol hanya dihargai Rp.2.500 per kilo oleh perusahaan pengepul tembakau, itupun masih dipotong bibit sekitar Rp.60 per batang dan potongan refraksi sekitar 7 persen.
Menurut salah satu petani yang pernah mengikuti kegiatan pelatihan komoditas tembakau di Mojokerto mengatakan, bahwa harga jual tembakau jenis Grompol dari Pacitan ini menjadi yang terendah se-Indonesia.
"Tembakau kami di beli dengan harga Rp.2.500 per kilo oleh PT, itupun masih ada potongan bibit dan refraksi, padahal di kabupaten Magetan harganya Rp.6.000 per kilo," keluh salah satu petani yang enggan disebutkan namanya.
Keluhan itu juga muncul lantaran sulitnya merawat tembakau karena waktu itu musim kemarau.
Bahkan beberapa petani juga mengalami gagal panen akibat kekurangan air untuk menyirami tanaman tembakaunya.
Disisi lain, Slamet, salah satu anggota kelompok tani yang juga ikut menanam tembakau mengeluhkan pembayaranya yang mengalami kemoloran.
"Hasil panen saya yang pertama itu sudah 2 bulan lebih, itupun belum dibayar. Padahal rencananya hasil penjualan tembakau itu akan saya gunakan untuk membeli pupuk karena sebentar lagi musim tanam padi," ucap Slamet, Sabtu (9/11/2024).
Lebih lanjut Slamet mengatakan, memang pencanangan dan pengembangan pertanian tembakau ini cukup bisa memberdayakan para petani, karena para petani tembakau mendapatkan fasilitas berupa bantuan langsung tunai (BLT) dan berbagai macam peralatan alat mesin pertanian (Alsintan) dari dana DBHCHT.
Akan tetapi, secara hitung-hitungan ekonomi pertanian tembakau ini masih sangat jauh dari apa yang diharapkan.
Bahkan beberapa petani sudah ada yang trauma untuk kembali menanam tembakau, dan lebih memilih pertanian yang lain, seperti cabai atau bawang merah.
Hal itu dikarenakan harganya yang terlalu rendah dan sulitnya pasokan air untuk penyiraman.
Menanggapi hal itu, Sartono, Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Pacitan mengatakan, perbedaan harga tembakau di Pacitan dengan daerah lain dikarenakan kualitas tembakau dari petani Pacitan yang belum seperti di daerah lain.
"Perbedaan itu tergantung kemampuan petani dalam berbudidaya, contoh teman-teman kami di Takeran Magetan itu satu kilo tembus Rp.3.800, memang tembakaunya tebal dan lebar," terang Sartono.
"Nah untuk Pacitan dalam konteks ini masih belajar, tembakaunya kecil-kecil, itupun buyer (pembeli*Red) disuruh beli Rp.2.500 saja tidak mau beli kalau belum terlanjur MoU, karena kualitas tembakaunya belum sesuai yang diharapkan. Bagaimana dapat harga tinggi kalau petani sendiri cara bertaninya masih asal-asalan," imbuhnya lagi.
Lebih lanjut Sartono juga menanggapi permasalahan kemoloran pembayaran. Menurut Sartono hal itu sudah ada kesepakatan dari awal antara petani dan buyer.
"Kalau itu memang sudah ada MoU nya mas, memang yang buyer Grompol dari Klaten itu sistemnya tunda bayar, maksudnya barang dicatat dan dibawa dulu, setelah diproses dan mereka jual, baru akan dibayar ke petani setelah barang habis," jelasnya
"Terkait dengan pemanenan pertama dan kedua belum dibayar, itu memang kita perlakukan sama, tujuannya kalau yang panen pertama dibayar terus yang terakhir belum dibayar nanti malah menjadi ribut," bebernya.
Sartono mengungkapkan, kemungkinan permasalahan itu muncul karena kurangnya komunikasi antara ketua kelompok tani dan anggotanya. Tetapi pihaknya meyakini bahwa hal itu sudah di sampaikan dari awal.
Untuk diketahui, bahwa untuk saat ini Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pacitan memang sangat fokus pada pengembangan pertanian komoditas tembakau ini.
Hal itu dikarenakan dana dari hasil cukai tembakau yang di dapat oleh Pemkab memang sangat menggiurkan.
Pada tahun 2024 saja, Pemkab mendapatkan alokasi anggaran dari DBHCHT sekitar Rp.26,9 milliar yang bisa digunakan untuk berbagai kegiatan seperti kesehatan, kesejahteraan masyarakat dan penegakan hukum.
Berdasarkan informasi, untuk saat ini petani tembakau di Pacitan ada sekitar 111 kelompok tani, dan satu kelompok ada 20 hingga 40 orang anggotanya.
Sejauh ini ada 3 jenis varietas yang umum dibudidayakan di Pacitan, yaitu jenis tembakau Virginia, tembakau Grompol dan tembakau lokal.
Tentu semua pihak mengingingkan adanya titik temu dari permasalahan di atas. Para petani tidak merasa dirugikan, buyer juga mendapatkan kualitas sesuai yang diharapkan.
Semua itu tentu membutuhkan peran dari semua pihak, terutama dari Dinas Pertanian.
Perlu kiranya meningkatkan kapasitas SDM petani tembakau Pacitan dengan berbagai pelatihan.
Selain itu sangat disayangkan, pabrik rokok di Pacitan banyak, tetapi bahan baku tembakaunya selalu beli dari luar daerah.
Padahal kapasitas hasil tembakau dari petani Pacitan sudah mampu untuk mencukupi kebutuhan pabrik rokok di Pacitan. (Eko)
Posting Komentar