MK Kabulkan Perhomonan Uji Materiil UU Cipta Kerja, Begini Langkah Kemnaker Tanggapi Putusan Tersebut

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli

GARDAJATIM.COM: Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan uji materiil Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja).

Uji materiil ini diajukan oleh Partai Buruh, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI), Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), dan dua dari perseorangan, yaitu Mamun dan Ade Triwanto yang berprofesi sebagai buruh dengan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023. 

Dalam putusan itu, MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU No. 6 tahun 2023.

Pertimbangan hukum tersebut dibacakan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih.

Mahkamah menilai adanya kemungkinan perhimpitan norma antara Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dengan UU Cipta Kerja.

Terutama terkait dengan norma dalam UU Ketenagakerjaan yang diubah (baik berupa pasal dan ayat) sulit dipahami secara awam, termasuk sulit dipahami oleh pekerja/buruh.

“Dengan undang-undang baru tersebut, masalah adanya ancaman ketidakharmonisan dan ketidaksinkronan materi/substansi undang-undang ketenagakerjaan dapat diurai, ditata ulang, dan segera diselesaikan," kata Enny, dikutip pada hari Jumat (1/11/2024).

Selain itu, sejumlah materi/substansi peraturan perundang-undangan yang secara hierarki di bawah undang-undang.

"Termasuk dalam sejumlah peraturan pemerintah, dimasukkan sebagai materi dalam undang-undang ketenagakerjaan," katanya.

Berikut ini adalah poin-poin yang dikabulkan oleh MK terkait dengan UU Cipta Kerja :

1. Undang-Undang Ketenagakerjaan dipisah

MK meminta pembentuk undang-undang segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru, terpisah dari UU Cipta Kerja. 

Impitan norma terkait.
ketenagakerjaan dinilai sulit dipahami awam dan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang berkepanjangan.

2. Utamakan Tenaga Kerja Indonesia dari pada TKA

MK membatalkan beleid multitafsir yang tidak mengatur pembatasan secara tegas soal masuknya tenaga kerja asing (TKA).

MK menambahkan klausul dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia di Pasal 81 angka 4 UU Cipta Kerja.

3. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)

MK menyoroti aturan durasi perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) yang sebelumnya, dalam UU Cipta Kerja dikembalikan pada perjanjian/kontrak kerja.

Pada UU Ketenagakerjaan sebelumnya mengatur agar durasi tersebut didasarkan pada waktu yang ditentukan oleh undang-undang. MK menegaskan bahwa durasi PKWT maksimum 5 tahun, termasuk bila ada perpanjangan PKWT.

4. Pembatasan Pekerjaan alih daya (outsourcing)

MK meminta supaya undang-undang kelak menyatakan agar menteri menetapkan jenis dan bidang demi perlindungan hukum yang adil bagi pekerja.

Menurut MK, perusahaan, penyedia jasa outsourcing, dan pekerja perlu punya standar yang jelas mengenai jenis-jenis pekerjaan yang dapat dibuat outsourcing, sehingga para buruh hanya akan bekerja outsourcing sesuai dengan yang telah disepakati dalam perjanjian.

5. Lima Hari Kerja dalam Sepekan

MK mengembalikan alternatif bahwa terdapat opsi libur dua hari dan lima hari kerja seminggu untuk para pekerja.

Pada UU Cipta Kerja, hanya memberi jatah libur satu hari seminggu untuk pekerja tanpa opsi alternatif libur dua hari.

Padahal, UU Ketenagakerjaan sejak awal menyediakan opsi libur dua hari seminggu untuk pegawai berdasarkan produktivitas masing-masing perusahaan.

6. Upah Mengandung Komponen Hidup Layak

MK meminta pasal soal pengupahan harus "mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua.

Pasalnya pada UU Ciptaker melenyapkan penjelasan mengenai komponen hidup layak pada pasal soal penghasilan/upah yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan.

7. Hidupkan Dewan Pengupahan

MK dalam putusannya akan menghidupkan lagi peran dewan pengupahan yang dihapus di UU Cipta Kerja, sehingga penetapan kebijakan upah ke depan tak lagi sepihak di tangan pemerintah pusat.

MK menegaskan, kebijakan upah mesti "melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah" sebagai bahan bagi pemerintah pusat menetapkan kebijakan upah.

8. Upah Proporsional

MK memperjelas frasa "indeks tertentu" dalam hal pengupahan sebagai "variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja.

9. Berlakunya Upah Minimum Sektoral

MK memerintahkan UMS diberlakukan kembali karena pekerja di sektor-sektor tertentu memiliki karakteristik dan risiko kerja yang berbeda. Hal ini tergantung tuntutan pekerjaan yang lebih berat atau spesialisasi yang diperlukan.

Sebelumnya pada UU Cipta Kerja sebelumnya telah menghapus ketentuan upah minimum sektoral (UMS). MK menilai, kebijakan itu dalam praktiknya sama saja negara tak memberi perlindungan yang memadai bagi pekerja.

10. Pemutusan hubungan kerja (PHK)

MK meminta perundingan terkait pemutusan hubungan kerja (PHK) harus dilakukan secara musyawarah mufakat.

Apabila perundingan itu mentok, MK memerintahkan PHK "hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

Hal ini sesuai ketentuan dalam Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

11. Batas bawah uang penghargaan masa kerja (UPMK)

MK menyebut pengaturan soal hitungan UPMK di dalam UU Cipta Kerja adalah nominal batas bawah. 

Pada Pasal 156 ayat (2) dalam pasal 81 angka 47 beleid tersebut bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai paling sedikit.

Menanggapi hal tersebut, Pemerintah melalui Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) menghormati MK yang telah memutuskan perkara judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu Nomor 2 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja menjadi undang-undang.

"Sebagai negara hukum, pemerintah tentunya tunduk dan patuh atas putusan MK. Pemerintah juga akan segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menindaklanjuti putusan tersebut," kata Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Yassierli dalam keterangan resmi, dikutip Sabtu (2/11/2024).

Yassierli menambahkan, langkah yang akan diambil Kemnaker, di antaranya dengan menginisiasi koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait.

Kemnaker juga akan mengajak serikat pekerja/serikat buruh, APINDO, KADIN, dan para pemangku kepentingan lainnya untuk berdialog mengenai tindak lanjut pasca-putusan MK.

"Kemnaker akan menggunakan forum-forum dialog baik melalui Lembaga Kerja Sama Tripartit, Dewan Pengupahan Nasional, maupun forum dialog lainnya," katanya.

Lebih lanjut, Menaker menegaskan bahwa pemerintah memastikan adanya peningkatan kesejahteraan pekerja/buruh serta keberlangsungan usaha.

Yassierli juga mengajak seluruh pemangku kepentingan ketenagakerjaan untuk turut mengambil bagian dalam penyelesaian permasalahan ketenagakerjaan. 

Pasalnya, persoalan ketenagakerjaan tidak hanya menyangkut pekerja/buruh yang sedang aktif bekerja, tetapi juga berkaitan dengan tantangan yang lebih besar, seperti penciptaan lapangan kerja yang lebih luas untuk menampung angkatan kerja baru dan perlindungan bagi pekerja yang rentan terkena PHK. (Eko)

0/Post a Comment/Comments