Foto: Ilustrasi
GARDAJATIM.COM: Simone de Beauvoir, seorang feminis eksistensialis asal Prancis, lahir di Paris pada tahun 1908 dan meninggal pada tahun 1986. Selama hidupnya, ia berkarir sebagai filsuf, esais, novelis, serta aktivis politik. Karya-karyanya, menurut pengakuannya sendiri, banyak dipengaruhi oleh filsafat Jean Paul Sartre, rekan intelektualnya selama lebih dari lima puluh tahun.
Fakta ini sering kali membuat beberapa kritikus mempertanyakan keaslian pemikirannya dari segi filosofis.
Simone de Beauvoir hidup di masa kejayaan filsafat eksistensialisme, salah satu aliran yang sangat berpengaruh di Prancis kala itu. Ia sezaman dengan tokoh-tokoh eksistensialis terkemuka seperti Jean-Paul Sartre dan Albert Camus. Masa mudanya dihabiskan dengan mendalami serta mengkritisi konstruksi gender perempuan dalam tatanan sosial Prancis.
Kritik-kritik tersebut tercermin dalam sejumlah karyanya, termasuk She Came to Stay (1943), All Men are Mortal (1946), The Woman Destroyed (1967), serta karya besarnya, The Second Sex (1949).
Sepanjang hidupnya, Beauvoir terus memperjuangkan pembebasan perempuan dari cengkeraman patriarki.
Bersama Sartre, kekasih sekaligus rekan intelektualnya, ia gigih menyuarakan hak perempuan untuk menentukan jalan hidup mereka sendiri. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1986, Beauvoir tetap konsisten dalam perjuangannya. Ia dimakamkan berdampingan dengan Sartre.
Meski sudah wafat lebih dari tiga dekade, ide-ide pembebasan yang ia suarakan akan selalu bergema setiap kali perempuan dipaksa tunduk, patuh, dan teralienasi dari masyarakat.
PEMIKIRAN SIMONE DE BEAUVIOR
Simone de Beauvoir, menjadi salah satu ikon feminisme modern berkat kritik tajamnya terhadap ketidakadilan gender, yang terangkum dalam karyanya The Second Sex.
Karya ini membawa pemikirannya ke arah feminisme eksistensial. Dalam tulisannya, Beauvoir mengawali kritiknya dengan menelusuri akar penindasan perempuan yang sudah berlangsung sejak zaman kerajaan kuno.
Ironisnya, meski perempuan telah tertindas sejak lama, banyak yang masih belum menyadarinya hingga kini. Salah satu alasan ketidaksadaran ini adalah marginalisasi perempuan sebagai "liyan" dalam budaya patriarki yang sudah mendarah daging, di mana laki-laki ditempatkan sebagai subjek dan perempuan sebagai objek, seperti yang ditegaskan Beauvoir.
Simone berbeda dari feminis lainnya yang lebih fokus pada perjuangan di ranah publik, memilih pendekatan feminisme eksistensial yang menekankan perubahan melalui gerakan individual di ranah domestik.
Pendekatan ini mungkin dipengaruhi oleh pengalaman pribadi atau sekumpulan fakta yang dia amati, di mana diskriminasi terhadap perempuan sering kali lebih nyata dan dominan terjadi di dalam lingkungan domestik.
Meskipun begitu, yang menjadi sorotan menarik adalah bahwa landasan perjuangan feminisme, baik publik maupun domestik, memiliki kesamaan: dunia yang sejak awal terbentuk dalam sistem patriarki sebuah struktur yang lebih menguntungkan dan berpusat pada laki-laki.
Kritik feminisme, termasuk dari Beauvoir, bertujuan untuk mengubah sistem ini demi menciptakan kehidupan yang lebih adil, seimbang, dan manusiawi.
Pandangan Simone de Beauvoir tentang kebebasan memiliki kesamaan dengan pandangan Jean-Paul Sartre. Sartre berpendapat bahwa manusia, karena memiliki kesadaran akan keberadaannya, bebas untuk menentukan bagaimana mereka menjalani hidup.
Namun, kebebasan ini datang dengan tanggung jawab, karena setiap pilihan pasti membawa konsekuensi. Kebebasan manusia bukan hanya tentang memilih, tetapi juga tentang menerima beban dari pilihan-pilihan tersebut. Inilah mengapa dalam eksistensialisme muncul ungkapan bahwa “kebebasan adalah kutukan,” karena kebebasan untuk memilih datang dengan kewajiban menanggung akibatnya.
Sartre juga menekankan bahwa setiap manusia adalah subjek bebas, bukan hanya "aku." Setiap individu berhak menyatakan diri sebagai subjek yang bebas, namun kebebasan seseorang dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kebebasan ini tidak mutlak, karena setiap manusia berusaha untuk eksis dengan cara mengobjektifikasi orang lain.
Dalam pandangan ini, perjuangan eksistensialis adalah perjuangan untuk menjadi satu-satunya subjek yang berdiri di atas kehendaknya sendiri, sekaligus mengatasi kebebasan orang lain. Hal ini melahirkan ungkapan "Hell is Other People" karena keberadaan orang lain selalu menjadi batasan kebebasan kita.
Konsep lain yang mempengaruhi Beauvoir adalah gagasan mauvaise foi atau bad faith dari Sartre. Bad faith adalah kondisi di mana seseorang menggantungkan diri pada sesuatu yang dianggap lebih besar dan kuat, sehingga ia kehilangan kesadaran akan keberadaannya sendiri.
Ketergantungan ini membuat manusia terasing dari jati dirinya dan menjadikannya sebagai objek. Pandangan inilah yang kemudian digunakan Beauvoir untuk mengkritik posisi perempuan dalam masyarakat, terutama dalam konstruksi sosial di Prancis saat itu.
AKAR PENINDASAN DAN MITOS PEREMPUAN
Perempuan di seluruh dunia sering kali digambarkan sebagai makhluk yang tertindas. Baik disadari oleh laki-laki maupun tidak, bahkan sebagian besar perempuan pun tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya berada di bawah penindasan laki-laki. Struktur sosial yang kita kenal ini disebut patriarki, yaitu sistem yang sangat mengutamakan laki-laki.
Dalam interpretasi agama pun, narasi tentang perempuan sering menempatkan mereka sebagai subjek sekunder atau bahkan objek dalam tatanan kehidupan.
Budaya patriarki memulai penindasannya dengan memberi stigma negatif terhadap tubuh perempuan. Unsur biologis perempuan diberi label patriarkal dengan mengklaim bahwa tubuh perempuan menjadi penghalang untuk mewujudkan potensi diri.
Perempuan direduksi hanya dalam fungsinya secara biologis. Akibatnya, perempuan dipandang semata-mata sebagai alat reproduksi, dengan citra yang selalu berpusat pada tubuhnya. Dalam sistem patriarki ini, perempuan diperlakukan sebagai objek, sementara laki-laki adalah subjek.
Karena tafsir-tafsir agama kebanyakan dilakukan oleh laki-laki, hasilnya sering kali cenderung menguntungkan laki-laki dan kurang mempertimbangkan perspektif perempuan.
Nilai-nilai patriarkal yang melekat pada tubuh perempuan kemudian diperkuat melalui sosialisasi dan mitos-mitos yang tersebar di berbagai institusi sosial, seperti keluarga, sekolah, masyarakat, bahkan negara.
Simone de Beauvoir dengan tegas menyatakan, "One is not born, but rather becomes, a woman." Kutipan ini dengan jelas merangkum pandangannya tentang akar penindasan perempuan.
Menurutnya, perempuan tidak dilahirkan dengan identitas gender tertentu, melainkan dibentuk oleh konstruksi sosial yang terus-menerus menciptakan mitos dan stereotip tentang apa itu "perempuan." Perempuan adalah hasil dari pembentukan sosial yang memaksa mereka untuk hidup sesuai dengan peran yang ditetapkan oleh masyarakat.
Dalam konteks masyarakat beragama, misalnya, mitos seringkali menceritakan bahwa perempuan pertama kali diciptakan hanya untuk menemani lelaki yang hidup kesepian. Narasi ini membentuk anggapan bahwa peran perempuan semata-mata adalah mendampingi laki-laki, sehingga eksistensinya dilihat sebagai pelengkap.
Kepercayaan-kepercayaan tradisional juga berkontribusi pada pengerdilan peran perempuan, sering kali hanya dilihat dari aspek biologisnya. Misalnya, perempuan dipandang sebagai alat untuk melanjutkan keturunan, tanpa mengakui potensi dan kapasitas lain yang dimilikinya.
Lebih jauh lagi, budaya tertentu bahkan menjadikan perempuan sebagai objek transaksi, di mana mereka dapat dinegosiasikan atau diperjualbelikan oleh keluarganya atas nama adat atau tradisi. Di sini, perempuan selalu ditempatkan dalam posisi yang rentan dan terpinggirkan.
De Beauvoir menyoroti bahwa penindasan perempuan tidak hanya berasal dari struktur eksternal tetapi juga dari internalisasi mitos-mitos ini oleh perempuan sendiri, membuat mereka menerima peran yang dibentuk oleh patriarki tanpa sadar.
Penegasan de Beauvoir ini membuka jalan untuk memahami bahwa kebebasan perempuan harus melibatkan dekonstruksi peran-peran sosial yang mengikat mereka, serta pemberdayaan untuk menolak peran-peran tersebut demi mencapai kebebasan sejati.
Konstruksi sosial masyarakat patriarkis telah menjerat perempuan dalam pola la mauvaise foi atau bad faith. Perempuan dibuat percaya bahwa mereka terkondisikan oleh esensi yang sudah ditentukan dan diproduksi oleh sistem patriarki, yang kemudian tersosialisasi melalui berbagai norma dan aturan.
Akibatnya, perempuan tidak mampu mengendalikan diri mereka sendiri dan gagal menjadi subjek yang bebas untuk mengekspresikan eksistensi mereka secara mandiri. Pada akhirnya, perempuan menjalani hidup dengan mengikuti tuntutan-tuntutan masyarakat patriarkal, yang membuat mereka terasing dari diri mereka sendiri.
De Beauvoir menyebut proses pembentukan identitas perempuan ini sebagai womanization, di mana perempuan dipaksa menerima peran yang sudah dibentuk oleh masyarakat, alih-alih menciptakan identitasnya sendiri yang otentik.
Dasar dari perspektif esensialisme menurut Simone de Beauvoir adalah bahwa esensi perempuan mencakup sifat-sifat tertentu yang diyakini ada pada semua perempuan, tanpa memandang waktu dan tempat (biological essentialism).
Berdasarkan pandangan ini, perempuan memiliki fondasi biologis yang membedakan mereka secara moral dan rasional dari laki-laki. Stereotip yang sering muncul menyatakan bahwa laki-laki adalah rasional, sementara perempuan dianggap tidak rasional; laki-laki terkait dengan budaya, sedangkan perempuan lebih dekat dengan alam; laki-laki dihubungkan dengan pikiran, dan perempuan dengan emosi, dan seterusnya.
Karena itu, de Beauvoir mengembangkan gagasan feminis eksistensialis yang mendorong perempuan untuk hidup secara autentik, dengan menyadari bahwa mereka pada dasarnya bebas dan tidak terikat oleh aturan, nilai, norma, atau stereotip yang ada.
Dalam konteks ini, feminisme eksistensialis melihat perempuan dengan mauvaise foi (keyakinan buruk), yaitu terperangkap dalam stereotip yang mengakibatkan mereka merasa inferior di hadapan laki-laki. Pemikiran feminis eksistensialis berlandaskan pada keyakinan bahwa laki-laki dan perempuan bukanlah dua entitas yang terpisah.
Dalam tubuh manusia terdapat aspek biologis dan psikologis. Maskulinitas dan feminitas, serta tubuh laki-laki dan perempuan, adalah variasi dalam perwujudan manusia, tetapi keduanya bukanlah organisme yang berbeda secara substansial; mereka hanya berbeda dalam cara bereksistensi.
Tubuh laki-laki dan perempuan terwujud dalam identitas seksual, sementara maskulinitas dan feminitas berkaitan dengan isu gender. Namun, identitas seksual (performansi awal) tidak menentukan seksualitas seseorang (gender).
Pembentukan identitas seksual ini tidak dapat dipisahkan dari proses budaya, seperti imitasi (meniru), mimikri (menyesuaikan diri), repetisi (mengulang), dan modifikasi (mengubah).
Perempuan memiliki kesadaran akan dua cara bereksistensi dan memilih cara feminis, serta memodifikasinya secara individu. Kemiripan di antara perempuan muncul karena cara bereksistensi tersebut diambil melalui keempat proses tersebut.
Oleh karena itu, kemiripan antar perempuan lebih terkait dengan bagaimana mereka berinteraksi dengan dunia, bukan semata-mata karena siapa mereka.
Salah satu cara untuk mencapai pembebasan perempuan adalah melalui penghapusan stigma dan stereotip yang melekat pada mereka. Tubuh perempuan perlu dibebaskan dari label-label yang dipaksakan oleh budaya patriarki, yang menghalangi mereka untuk melakukan proses transendensi.
Selain itu, penting untuk mengubah pola relasi antara laki-laki dan perempuan dari ikatan biologis dan fungsional menjadi ikatan yang lebih manusiawi dan etis, yang didasari oleh semangat persahabatan dan kemurahan hati.
Menuju Kesetaraan: Menyatukan Pemikiran de Beauvoir dengan Perjuangan Perempuan Indonesia
Simone de Beauvoir, dalam karyanya The Second Sex, menegaskan bahwa identitas perempuan bukanlah sesuatu yang melekat sejak lahir, melainkan dibentuk melalui konstruksi sosial dan budaya yang kompleks.
Pandangan ini sangat relevan dalam konteks Indonesia, di mana perempuan sering kali terjebak dalam stereotip yang menempatkan mereka dalam peran sekunder, di mana mereka dianggap hanya sebagai pengurus rumah tangga atau objek dalam struktur sosial.
Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, partisipasi perempuan dalam angkatan kerja hanya mencapai sekitar 54,52%, jauh di bawah angka partisipasi laki-laki yang mencapai 84,26%. Ini menunjukkan bahwa perempuan masih mengalami kesulitan untuk berkontribusi secara penuh dalam sektor ekonomi.
Selain itu, data dari Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menunjukkan bahwa pada tahun 2023, terdapat 401.975 kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan, sedikit menurun dibandingkan tahun 2022. Pada klasifikasi kasus, sebanyak 289.111 kasus yang terjadi di 2023 teridentifikasi sebagai kasus kekerasan berbasis gender (KBG), dengan 284.741 di antaranya berada di ranah personal.
Banyak perempuan yang mengalami kekerasan merasa terjebak dalam ketakutan dan stigma, yang membuat mereka enggan untuk melaporkan perlakuan buruk yang mereka alami. Budaya patriarkal di Indonesia sering kali memposisikan perempuan sebagai objek, sehingga mengurangi nilai dan keberadaan mereka sebagai individu dengan hak dan keinginan yang sah.
Dalam konteks ini, banyak perempuan merasa terasing dari diri mereka sendiri dan tidak dapat mengeksplorasi potensi mereka secara penuh.
De Beauvoir mendorong perempuan untuk menyadari bahwa mereka memiliki kebebasan untuk menentukan identitas dan nasib mereka sendiri.
Hal ini sejalan dengan gerakan feminis yang semakin berkembang di Indonesia, di mana perempuan berjuang melawan stereotip dan penindasan yang dialami. Dengan membangun kesadaran kolektif akan hak-hak mereka, perempuan dapat mulai mengambil tindakan nyata untuk melawan diskriminasi dan kekerasan.
Melalui pendidikan dan penyuluhan, gerakan feminis di Indonesia berupaya untuk mendidik masyarakat tentang pentingnya kesetaraan gender serta menantang norma-norma yang telah mengakar.
Dengan memahami pemikiran de Beauvoir, perempuan Indonesia diharapkan dapat membebaskan diri dari belenggu patriarki dan mengejar kesetaraan yang lebih besar. Hal ini menciptakan lingkungan di mana perempuan tidak hanya dianggap sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang memiliki hak, suara, dan kemampuan untuk menentukan arah hidup mereka sendiri.
Mewujudkan hal ini adalah langkah penting menuju masyarakat yang lebih adil dan setara, di mana perempuan dapat hidup dengan martabat dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.
“The fact that we are human beings is infinitely more important than all the peculiarities that distinguish human beings from one another.” – Simone De Beauvoir
Referensi;
1. Atas Nama Kebebasan: Cinta, Perkawinan, dan Maternitas di Mata Simone de Beauvoir. https://lsfdiscourse.org/perkawinan-menurut-simone-de-beauvoir/
2. Simone De Beavoir: Akar Penindasan dan Mitos tentang Perempuan. https://baca.nuralwala.id/simone-de-beavoir-akar-penindasan-dan-mitos-tentang-perempuan/
3. Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja Menurut Jenis Kelamin, 2021-2023, https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MjIwMCMy/tingkat-partisipasi-angkatan-kerja-menurut-jenis-kelamin.html
4. Komnas Perempuan Catat 401.975 Kasus Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia Sepanjang 2023. https://goodstats.id/article/komnas-perempuan-catat-401975-kasus-kekerasan-terhadap-perempuan-di-indonesia-sepanjang-2023-ZdHPc
Oleh : Aisy
Editor ; Redaksi
Posting Komentar