Kirab Gunung Grebeg Maulud. Foto: Dok IB 2019
GARDAJATIM.COM: Tradisi Sekaten di Kraton Kasunanan Surakarta kembali digelar, menghadirkan percampuran unik antara budaya Jawa dan ajaran Islam yang sudah berakar sejak masa Wali Sanga.
Dengan iringan tabuh gamelan pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, perayaan yang berlangsung selama tujuh hari enam malam ini tidak hanya menjadi wujud penghormatan kepada Maulid Nabi Muhammad SAW, namun juga melestarikan warisan budaya Jawa yang erat kaitannya dengan syiar Islam.
Salah satu bagian penting dari perayaan ini adalah tabuh gamelan, yang berlangsung selama tujuh hari enam malam, dimulai dari tanggal 5 hingga 12 Rabiul Awal menurut penanggalan Jawa.
Ritual ini menampilkan dua gamelan pusaka, yakni Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari, yang dibawa dari Kraton menuju Bangsal Pradangga atau Pagongan Kagungan Dalem Masjid Ageng Kraton Surakarta.
Kedua gamelan tersebut dimainkan tanpa henti sebagai bagian dari peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Asal Usul Gamelan Pusaka
Berdasarkan penelitian Kundharu Saddhono dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, gamelan Kyai Guntur Sari merupakan peninggalan Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja Mataram, sementara Kyai Guntur Madu adalah warisan dari Paku Buwono IV.
Kedua gamelan ini memiliki makna simbolis penting dalam tradisi Sekaten, yang erat kaitannya dengan penyebaran agama Islam di Jawa pada masa Wali Sanga.
Simbol Syiar Islam
Pada mulanya, gamelan digunakan oleh Wali Sanga sebagai media dakwah untuk menyebarkan ajaran Islam. Gamelan, yang kala itu merupakan hiburan populer, dijadikan sarana untuk menarik minat masyarakat lokal.
Mereka yang ingin menyaksikan pertunjukan gamelan diwajibkan mengucapkan syahadatain atau dua kalimat syahadat. Nama Sekaten berasal dari istilah syahadatain tersebut.
Ritual Tabuh Gamelan
Tabuh gamelan dimulai pada tanggal 5 Rabiul Awal, biasanya setelah waktu Asar, dengan perintah resmi dari pihak Kraton Surakarta. Kyai Guntur Madu ditempatkan di pagongan selatan, sementara Kyai Guntur Sari di pagongan utara halaman Masjid Agung Surakarta.
Banyak masyarakat meyakini bahwa mendengarkan gending Sekaten sambil mengunyah kinang (sirih) dapat memberikan panjang umur dan kesehatan.
Ritual ini mencapai puncaknya pada 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW. Pada hari tersebut, Kraton Surakarta menggelar prosesi Grebeg Maulud, di mana Gunungan Jaler dan Gunungan Estri diarak dari kompleks Kraton menuju Masjid Ageng.
Setelah didoakan, gunungan tersebut diperebutkan oleh masyarakat, dengan keyakinan bahwa mereka akan memperoleh berkah.
Pelestarian Warisan Budaya
Tradisi Sekaten di Kraton Surakarta merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya yang menunjukkan bagaimana Islam menyatu dengan kebudayaan Jawa.
“Tradisi ini berasal dari strategi Wali Sanga yang memanfaatkan pendekatan budaya untuk mempercepat penyebaran Islam di Jawa,” jelas KP Hari Andri Winarso Wartonagoro, seorang kerabat Kraton Surakarta. “Penyebaran Islam dilakukan melalui berbagai jalur, termasuk politik, sosial, dan budaya,” tambahnya, Senin (9/9/2024).
Tradisi ini tidak hanya menjadi perayaan keagamaan, tetapi juga menggambarkan kekayaan budaya Jawa yang menyatukan spiritualitas dan seni.
Sekaten menjadi acara penting bagi masyarakat Solo dan sekitarnya, sekaligus bukti bagaimana nilai-nilai budaya dan agama saling memperkaya kehidupan sosial.
Melalui ritual seperti tabuh gamelan dan Grebeg Maulud, tradisi Sekaten tetap terjaga dan membawa pesan perdamaian serta berkah bagi masyarakat yang merayakannya setiap tahun. (Red)
Posting Komentar