Sekelompok pria yang terborgol sedang ditahan oleh TNI, Madiun, September 1948, Foto: Wikipedia
GARDAJATIM.COM: Pada 18 September 1948, Indonesia dikejutkan oleh peristiwa besar di Madiun, Jawa Timur, yang dikenal sebagai Pemberontakan PKI (Partai Komunis Indonesia).
Peristiwa ini merupakan puncak konflik antara pemerintah Republik Indonesia dan kelompok oposisi sayap kiri yang dipimpin oleh Front Demokrasi Rakyat (FDR).
FDR terdiri dari PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Pemuda Sosialis Indonesia (PESINDO), yang menentang kebijakan pemerintah terkait perundingan dengan Belanda dan arah pembangunan negara.
Latar Belakang Pemberontakan
Pemberontakan Madiun tidak terjadi secara mendadak, melainkan merupakan akumulasi dari ketegangan politik yang memanas sepanjang tahun 1948. Salah satu pemicu utamanya adalah Perjanjian Renville (1948), yang ditandatangani antara Indonesia dan Belanda, yang dianggap sebagai konsesi besar kepada kolonial.
Kelompok sayap kiri menuduh pemerintah terlalu lunak terhadap Belanda, terutama setelah wilayah-wilayah yang telah dibebaskan seperti Jawa Barat harus dikosongkan oleh pasukan TNI. Kondisi ini menyebabkan sebagian pasukan eks-Divisi Siliwangi dan simpatisan kiri berkumpul di wilayah-wilayah seperti Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Peristiwa ini semakin memanas dengan kembalinya Musso, seorang pemimpin komunis Indonesia yang telah lama tinggal di Uni Soviet. Musso, dengan pengalaman panjangnya di Moskow, datang dengan pandangan komunisme yang lebih radikal.
Ia mendesak penghentian perundingan dengan Belanda dan menyerukan agar Indonesia bergabung dengan blok komunis internasional.
Peristiwa Puncak di Madiun
Pemberontakan mencapai puncaknya pada 18 September 1948. Para pendukung PKI, yang telah mempersiapkan kekuatan mereka, merebut sejumlah tempat strategis di Madiun. Mereka mendeklarasikan pembentukan pemerintahan baru yang mereka sebut "Republik Soviet Indonesia" melalui siaran radio. Ini adalah simbol upaya PKI untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan menggantikannya dengan pemerintahan komunis.
Dalam situasi ini, banyak tokoh politik dan militer yang dianggap pro-pemerintah atau anti-komunis menjadi korban. Di Madiun, beberapa pemimpin lokal dari partai Masyumi dan PNI dibunuh. Upaya kudeta ini tidak mendapat dukungan luas di kalangan rakyat maupun militer, sehingga memicu respons cepat dari pemerintah pusat.
Tindakan Tegas Pemerintah
Presiden Sukarno, yang saat itu memimpin Republik Indonesia, segera memberikan pernyataan tegas. Dalam pidatonya, Sukarno menolak pemberontakan tersebut dan menyebutnya sebagai ancaman terhadap integritas dan persatuan bangsa. Pemerintah memerintahkan operasi militer untuk menumpas pemberontakan ini.
Kolonel Abdul Haris Nasution, yang memimpin Divisi Siliwangi, segera menggerakkan pasukannya menuju Madiun. Dalam beberapa hari, pasukan pemerintah yang terdiri dari Divisi Siliwangi dan pasukan lainnya berhasil menguasai kembali kota tersebut pada 30 September 1948. Pasukan PKI yang berjumlah sekitar 5.000 hingga 10.000 orang mulai tercerai-berai, dan para pemimpinnya melarikan diri.
Pada 31 Oktober 1948, Musso tewas saat mencoba melarikan diri dari pengejaran. Sementara itu, tokoh penting lainnya seperti Amir Syarifuddin ditangkap dan dieksekusi pada awal Desember 1948.
Dampak Pemberontakan pada Stabilitas Nasional
Pemberontakan Madiun 1948 menjadi titik balik yang penting dalam sejarah Indonesia. Peristiwa ini menegaskan perpecahan ideologi yang dalam di tengah perjuangan kemerdekaan. Sukarno dan Hatta berhasil menegaskan otoritas mereka dan mempertahankan Republik dari upaya perebutan kekuasaan oleh kelompok komunis.
Selain itu, pemberontakan ini menandai kemunduran besar bagi PKI yang kehilangan banyak pemimpin dan basis kekuatan di Jawa Timur. Meskipun PKI bangkit kembali beberapa dekade kemudian, peristiwa ini menjadi pelajaran bahwa revolusi bersenjata yang didukung oleh ideologi komunis tidak mendapat tempat di Indonesia yang baru merdeka.
Pada saat yang sama, pemerintah juga harus menghadapi tantangan baru dari Belanda yang melancarkan Agresi Militer II pada Desember 1948. (Red)
Sumber Sejarah
1. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200–2008, diterbitkan oleh PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2008.
2. Robert Cribb, The Indonesian Killings of 1965–1966, Monash University, 1990.
3. Slamet Muljana, Peristiwa Madiun: 18 September 1948, Balai Pustaka, Jakarta, 1999.
Posting Komentar