Foto: Istimewa
GARDAJATIM.COM- Kapten Anumerta Pierre Andreas Tendean merupakan salah satu tokoh penting dalam sejarah Indonesia yang menjadi korban kekejaman Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI).
Perwira muda yang dikenal cerdas dan berani ini tewas dalam peristiwa yang menggemparkan bangsa, meskipun tragisnya, ia sebenarnya bukanlah target utama gerakan tersebut, melainkan korban salah tangkap.
Lahir di Jakarta pada 21 Februari 1939, Pierre Tendean berasal dari keluarga dokter dan memiliki latar belakang pendidikan militer yang gemilang. Ia merupakan lulusan Akademi Militer Nasional Magelang pada tahun 1961.
Setelah lulus, Pierre meniti karier di bidang intelijen dan diberi kepercayaan untuk menjadi ajudan Jenderal TNI Abdul Haris Nasution, salah satu perwira tinggi militer paling berpengaruh di Indonesia pada saat itu.
Sebagai ajudan Nasution, Pierre Tendean sangat loyal dan bertanggung jawab. Namun, tugas ini pula yang membawanya pada akhir hidup yang tragis. Pada malam 30 September 1965, pasukan yang mengatasnamakan Gerakan 30 September datang ke rumah Jenderal Nasution di Jakarta untuk menculik dan membunuhnya.
Nasution, yang saat itu sudah menyadari situasi genting tersebut, berhasil melarikan diri dengan memanjat tembok belakang rumahnya. Sayangnya, Pierre Tendean yang berada di rumah bersama Nasution ditangkap oleh pasukan penculik.
Mereka salah mengira bahwa Pierre adalah Nasution, karena dalam kondisi gelap dan situasi yang kacau, ia dianggap sebagai target utama yang mereka cari.
Setelah ditangkap, Pierre Tendean dibawa bersama dengan beberapa perwira tinggi lainnya, termasuk Jenderal Ahmad Yani, Jenderal M.T. Haryono, dan Jenderal D.I. Panjaitan, menuju ke Lubang Buaya, sebuah tempat yang kemudian menjadi saksi bisu kekejaman gerakan tersebut.
Di Lubang Buaya, Pierre dan para perwira lainnya disiksa secara brutal sebelum akhirnya dibunuh. Tubuh mereka kemudian dibuang ke dalam sebuah sumur tua yang kelak dikenal sebagai "Sumur Lubang Buaya."
Peristiwa ini mengejutkan bangsa Indonesia dan menyisakan luka mendalam, karena para perwira yang gugur tersebut merupakan simbol kekuatan dan stabilitas militer Indonesia pada saat itu.
Meski bukan target utama, pengorbanan Pierre Tendean tidak bisa diabaikan. Di usianya yang baru 26 tahun, Pierre telah menunjukkan dedikasi yang luar biasa dalam menjalankan tugasnya sebagai ajudan Jenderal Nasution.
Ia dengan gagah berani menghadapi takdirnya, meskipun harus tewas dengan cara yang sangat kejam. Keberanian dan loyalitasnya kepada negara menjadikan Pierre sebagai simbol pengorbanan bagi bangsa.
Setelah peristiwa tersebut, Pierre Tendean dianugerahi gelar Pahlawan Revolusi bersama enam perwira lainnya yang juga menjadi korban G30S/PKI. Namanya diabadikan di berbagai tempat, termasuk sebuah jalan utama di Jakarta sebagai bentuk penghormatan atas jasanya.
Pierre Tendean juga dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta, sebagai tanda jasa dan penghargaan dari negara atas pengorbanannya.
Kisah tragis Pierre Tendean mengingatkan kita akan pentingnya mengenang sejarah kelam bangsa, agar generasi mendatang dapat belajar dari peristiwa tersebut.
Tragedi G30S/PKI tidak hanya menggambarkan kekacauan politik, tetapi juga menyisakan banyak pelajaran tentang pengorbanan, keberanian, dan patriotisme.
Kapten Pierre Tendean akan selalu dikenang sebagai salah satu pahlawan revolusi yang gugur demi bangsa, meskipun ia harus menjadi korban salah tangkap dalam salah satu babak kelam sejarah Indonesia.
Oleh : Aisy
Editor : Redaksi
Posting Komentar