Jejak Sejarah Ngawi: Dari Peradaban Kuno Hingga Warisan Budaya Masa Kini

Alun-alun Ngawi. Foto: About Ngawi 

GARDAJATIM.COM: Kabupaten ini terletak di ujung barat Provinsi Jawa Timur dan dikenal dengan letak strategisnya sebagai penghubung antara Jawa Timur dan Jawa Tengah. 

Dikelilingi oleh perbukitan dan aliran Sungai Bengawan Solo, daerah ini menawarkan pemandangan alam yang indah serta posisi geografis yang penting dalam lalu lintas regional.

"Ngawi" berasal dari bahasa Jawa, dari kata "awi," yang berarti bambu. Kata ini kemudian mendapatkan tambahan huruf "Ng" menjadi "Ngawi." 

Seperti halnya di banyak daerah lain, nama tempat sering kali diambil dari nama tumbuhan setempat, seperti Manggarai, Kebon Jeruk, Cengkareng, dan Cimanggis. 

Nama Ngawi mengacu pada daerah di sekitar pertemuan Sungai Bengawan Solo dan Bengawan Madiun, yang dahulu dipenuhi oleh tumbuhan bambu. 

Bambu memiliki makna filosofis yang mendalam dalam berbagai budaya, terutama di Asia. Sebagai simbol kekuatan dan fleksibilitas, bambu mengajarkan kita untuk tetap lentur dan bisa beradaptasi saat menghadapi berbagai tantangan dalam hidup. 

Secara simbolis, bambu melambangkan kekuatan, fleksibilitas, dan pertumbuhan, nilai-nilai yang diadopsi masyarakat Ngawi dalam menghadapi tantangan hidup.

Kabupaten Ngawi, yang sebagian besar penduduknya bergantung pada pertanian, merupakan komunitas yang erat dengan ikatan keluarga yang kuat. 

Meskipun tetap memelihara tradisi dan budaya lokal, mereka juga menghadapi perubahan modern. Bambu, yang banyak digunakan dalam berbagai aspek kehidupan, mencerminkan bagaimana masyarakat Ngawi beradaptasi dengan perubahan sambil tetap menjaga nilai-nilai budaya mereka.

Ngawi sudah ada sejak zaman Airlangga hingga akhir masa Kerajaan Majapahit, seperti yang dibuktikan oleh peninggalan-peninggalan benda dan dokumen sejarah kuno. 

Bukti tertua yang menyebutkan keberadaan Ngawi adalah Prasasti Canggu, yang mencatat tahun 1280 Saka atau 1358 Masehi. 

Saat itu, Ngawi dikenal sebagai daerah Swatantra, yang berarti daerah dengan otonomi sendiri, dan Naditira Pradesa, yang menunjukkan lokasinya dekat dengan sungai.

Kabupaten Ngawi sendiri memiliki luas 1.395,80 km² yang terbagi menjadi 19 kecamatan, 213 desa, dan 4 kelurahan. Ikon yang dimiliki Kabupaten Ngawi adalah Tugu Kartonyono dan memiliki Alun-Alun terbesar se-Jawa Timur.

Tak hanya itu, Kabupaten Ngawi memiliki tradisi adat yang dilestarikan, seperti Tari Orek-Orek, Upacara Kebo Ketan, dan Kedhuk Beji. 

Tari Orek-Orek merupakan salah satu tarian khas Ngawi yang menggambarkan semangat gotong royong dan kekompakan masyarakat dalam menjaga tradisi leluhur. 

Tarian ini biasanya ditampilkan pada acara-acara penting, seperti perayaan desa atau penyambutan tamu agung, dengan gerakan-gerakan yang energik dan penuh makna. 

Upacara Kebo Ketan dan Kedhuk Beji juga menjadi bagian penting dari kehidupan budaya di Ngawi. 

Upacara Kebo Ketan dilakukan sebagai bentuk syukur atas hasil panen yang melimpah, di mana para peserta melakukan prosesi dengan membawa kerbau yang dihias dan diiringi doa-doa untuk keselamatan serta keberkahan. 

Sementara itu, Kedhuk Beji adalah ritual pembersihan sumber mata air yang dipercaya memiliki kekuatan magis, bertujuan untuk menjaga kesucian dan kesuburan tanah Ngawi. 

Tradisi-tradisi ini tidak hanya menjadi warisan budaya yang berharga, tetapi juga menjadi daya tarik wisata yang unik bagi para pengunjung yang ingin merasakan keaslian budaya lokal Ngawi.

Warisan budaya Ngawi yang kaya dan beragam ini terus dijaga dan dilestarikan oleh masyarakat, menjadi cerminan identitas daerah yang kuat di tengah arus modernisasi. 

Dengan melibatkan generasi muda dalam berbagai kegiatan adat dan kesenian, Ngawi berhasil mempertahankan tradisi-tradisi leluhur yang masih hidup hingga kini, sekaligus memperkenalkannya kepada dunia luar sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia.

Oleh: Aisyatul 
Editor: Arga Narulata

0/Post a Comment/Comments

GARDA JATIM
GARDA JATIM