Lobi Universitas Muhammadiyah Madiun, Kamis (5/9/2024). Foto: Gardajatim
GARDAJATIM.COM: Kasus dugaan pengeroyokan terhadap dosen Universitas Muhammadiyah Madiun, yang terjadi pada 5 September 2024, menjadi sorotan tajam terhadap lembaga tersebut.
Dosen berinisial DRH melaporkan kejadian ini ke pihak kepolisian, teregister dalam bentuk Surat Tanda Terima Laporan Nomor: STTLP/B/75/IX/2024/SPKT/POLRES MADIUN KOTA/POLDA JATIM, tanggal 5 September 2024.
Sehari setelah laporan tersebut, Pimpinan universitas Muhammadiyah Madiun mengeluarkan press release yang membantah adanya penganiayaan, pemukulan, pencekikan, atau pengeroyokan terhadap dosen tersebut, yang dirilis pada 6 September 2024 pukul 16.13 WIB.
Dr. Mahfudz Daroini (pendamping pelapor) mengkritik langkah universitas mengeluarkan Press Release yang dianggapnya tergopoh-gopoh dan tidak objektif.
“Sehari setelah laporan dari korban diterbitkan, pimpinan universitas membuat press release yang mengklaim tidak ada penganiayaan,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa pernyataan dalam press release tersebut belum bisa dianggap sebagai jaminan kevalidan karena kasus ini masih dalam proses penyelidikan oleh aparat penegak hukum.
“Pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan garansi kevalidan karena kasus ini masih memerlukan alat bukti yang valid untuk memastikan kebenarannya,” tegas Dr. Mahfudz.
Ia juga menyoroti bahwa munculnya press release sehari setelah pelaporan perkara bisa menciptakan kesan seolah-olah ada upaya untuk menghindari pemeriksaan lebih lanjut, termasuk kemungkinan adanya bukti rekaman CCTV yang relevan.
“Kasus ini belum layak diperdebatkan kebenarannya hanya berdasarkan publikasi press release; kita harus menunggu proses hukum yang sedang berlangsung,” pungkas Dr. Mahfudz.
Ia juga menegaskan pentingnya dukungan terhadap kinerja Satreskrim Polresta Madiun dalam menangani kasus ini untuk memastikan keadilan.
Sementara itu, Dr. Muhammad Natsir dan Dr. Mahmud Rifai' Soroti Pentingnya Bukti Elektronik.
Dalam pernyataannya di tempat terpisah, Dr. Muhammad Natsir menekankan bahwa kebenaran dari sebuah peristiwa hukum tidak dapat ditentukan hanya berdasarkan pernyataan terlapor.
Apalagi jika terlapor merupakan bagian dari kelompok yang diduga terlibat dalam kejadian tersebut.
"Berbicara tentang fakta kebenaran dari sebuah peristiwa hukum, tidak bisa serta-merta dijustifikasi dari perseorangan atau kelompok, terutama jika posisinya sebagai terlapor," ujar Dr. Natsir.
Ia menjelaskan bahwa setiap tindakan hukum selalu berada dalam lingkup peristiwa hukum, yang melibatkan interaksi sosial yang diatur oleh hukum.
Dalam konteks ini, DRH, selaku korban tunggal dalam kasus tersebut, berada dalam posisi sosial yang sulit di lingkungan universitas.
Sementara itu, beberapa civitas akademika, termasuk pimpinan, dosen, dan karyawan kampus, menjadi terlapor, dan sebagian besar lainnya berpotensi menjadi saksi dalam kasus tersebut.
"Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan peradilan terkait perkara pidana," kata Dr. Natsir.
Menurutnya, keterangan saksi yang diperoleh dari apa yang mereka lihat, dengar, dan alami langsung, menjadi alat bukti yang sangat penting dalam proses hukum, terutama dalam dugaan kasus pengeroyokan terhadap dosen ini.
Namun, ia juga mengakui bahwa posisi korban yang tidak menguntungkan menuntut adanya alat bukti lain yang valid.
"Tentu masih dibutuhkan alat bukti lain yang valid dan signifikan, yang tidak terpengaruh oleh kepentingan subjektif kelompok," tambahnya.
Sementara itu, Dr. Mahmud Rifai' juga memberikan pandangannya terkait pentingnya alat bukti elektronik dalam kasus ini.
Ia menegaskan bahwa setiap dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti, seperti rekaman CCTV, harus memenuhi syarat materiil sesuai dengan undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Dokumen elektronik yang dijadikan alat bukti harus dijaga keotentikannya, keutuhannya, ketersediaannya, serta memenuhi persyaratan sebagaimana diatur oleh undang-undang ITE," jelas Dr. Mahmud Rifai'.
Lebih lanjut, Dr. Mahmud Rifai' menjelaskan bahwa peristiwa hukum dan tindakan hukum yang terjadi di UMMAD telah terekam di beberapa titik strategis di dalam dan luar ruangan, termasuk halaman kampus.
Menurutnya, CCTV, khususnya Digital Video Recorder (DVR) yang berada di ruang operator kampus, menjadi satu-satunya alat bukti paling valid dalam kasus ini.
"Berpedoman pada prinsip tersebut, CCTV yang ada di kampus UMMAD menjadi satu-satunya alat bukti paling valid dan akurat dibandingkan alat bukti lainnya," tegasnya.
Ia juga mengingatkan bahwa posisi DVR yang berada di ruang operator kampus, yang merupakan wilayah terlapor, menimbulkan kekhawatiran terhadap kemungkinan perusakan atau penghilangan barang bukti.
Oleh karena itu, Dr. Mahmud Rifai' menyarankan agar pihak Satreskrim Polresta Madiun segera mengambil tindakan.
"Untuk keamanan dan sebagai alat bukti yang vital, sebaiknya pihak Satreskrim Polresta Madiun segera mengamankan DVR tersebut dengan diberi 'police line'," pungkas Dr. Mahmud Rifai'.
Dengan adanya rekaman CCTV sebagai alat bukti, proses hukum diharapkan dapat berjalan lebih transparan dan adil, mengingat pentingnya bukti visual dalam menyelidiki kejadian yang diduga merupakan tindak pidana tersebut.
Pewarta: Arga Narulata
Editor: Redaksi
Posting Komentar