Peristiwa Tanjung Priok, Jakarta Utara, meletus 12 September 1984, bentrok antara aparat dan massa. sumber foto; sidoarjokini.com
GARDAJATIM.COM: Hari ini, 12 September 2024 tepat 40 tahun sejak tragedi berdarah di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang terjadi pada 12 September 1984. Peristiwa ini merupakan salah satu catatan kelam dalam sejarah Indonesia, di mana aksi protes damai oleh masyarakat berakhir dengan kekerasan brutal oleh aparat militer.
Puluhan hingga ratusan orang dilaporkan tewas dalam kejadian tersebut, dan banyak lainnya mengalami penangkapan serta penyiksaan.
Empat dekade telah berlalu, namun luka dari peristiwa ini masih dirasakan oleh keluarga korban dan aktivis hak asasi manusia. Mereka menuntut keadilan dan pertanggungjawaban dari pemerintah, yang dianggap belum memberikan penyelesaian yang memadai.
Meskipun telah dilakukan berbagai penyelidikan, kejelasan dan pengakuan penuh dari pihak yang bertanggung jawab masih belum terwujud.
Tragedi Tanjung Priok bermula dari unjuk rasa masyarakat yang memprotes ketidakadilan, ketidakbebasan umat beragama, dan percaya yang dirasakan umat Islam saat itu.
Namun, aksi yang awalnya damai berubah menjadi tragedi ketika aparat militer bertindak keras terhadap para demonstran. Korban meninggal berjatuhan di jalanan, dan hingga kini angka pastinya masih belum pasti.
Tragedi kejahatan kemanusiaan ini terjadi sebagai akibat dari supremasi ideologi yang digunakan untuk menutupi berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden Soeharto dan para pengikutnya.
Ideologi supremasi ini dikenal dengan "Asas Tunggal Pancasila," yang menghapuskan berbagai komunitas yang menganut ideologi lain seperti Islam.
Salah satu reaksi penolakan dari komunitas umat Islam di Tanjung Priok, yang direspon dengan tindakan sewenang-wenang oleh aparat militer di bawah komando Hermanu di Mushola As-Sa'adah, mengakibatkan berbagai pelanggaran HAM, termasuk penangkapan dan penyiksaan secara tidak sah.
Kerusuhan di Tanjung Priok dimulai dari perselisihan antara Bintara Pembina Desa (Babinsa) dan warga setempat pada 7 September 1984. Babinsa mengunjungi musala kecil bernama As-Sa'adah dan memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi informasi tentang masalah yang dihadapi umat Islam serta pengumuman pengajian.
Keesokan harinya, pada 8 September 1984, Sersan Satu Hermanu, seorang oknum ABRI Katolik, datang ke musala untuk menyita pamflet tersebut. Tindakannya, termasuk memasuki musala dengan sepatu, menyiram dinding dengan air got, dan menginjak Alquran, sangat menyinggung umat Islam. Hal ini memicu kemarahan warga, dan motor Hermanu dibakar.
Pada 10 September 1984, beberapa anggota jamaah musala berpapasan dengan seorang petugas Koramil yang mengotori musala mereka, menyebabkan cekcok yang dilerai oleh Syarifuddin Rambe dan Sofyan Sulaeman, pengurus Masjid Baitul Makmur. Meskipun mereka menyarankan untuk menyelesaikan masalah, massa di luar semakin marah.
Salah seorang dari massa membakar sepeda motor seorang marinir, yang kemudian menyebabkan penangkapan Syarifuddin Rambe, Sofyan Sulaeman, Ahmad Sahi (pimpinan musala), serta Muhammad Nur dan beberapa lainnya.
Penahanan ini memicu kemarahan massa yang menuntut pembebasan para tahanan.
Pada 12 September 1984, beberapa mubaligh menyampaikan ceramah di tempat terbuka, termasuk Amir Biki yang memberikan ultimatum untuk membebaskan para tahanan sebelum pukul 23.00 WIB. Setelah ceramah, sekitar 1.500 demonstran menuju Kantor Polsek dan Koramil, namun mereka dikepung oleh pasukan bersenjata. Demonstran menghadapi tembakan dari segala arah, mengakibatkan ratusan orang tewas dan luka-luka.
Para korban yang selamat berusaha melarikan diri atau berlindung, sementara truk militer mengangkut mayat dan yang terluka ke Rumah Sakit Militer di Jakarta. Rumah sakit lainnya dilarang menerima pasien dari penembakan tersebut.
Setelah penangkapan, mobil pemadam kebakaran membersihkan jalan dari darah.
Sekitar satu jam setelah pembantaian, Pangab Jenderal LB Moerdani menginspeksi lokasi kejadian. Daerah tersebut kemudian dinyatakan sebagai daerah operasi militer. Menurut catatan Komnas HAM, setidaknya 79 orang menjadi korban, dengan 55 luka-luka dan 23 meninggal dunia.
Selain itu, puluhan orang ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum yang jelas, dan beberapa orang dilaporkan hilang.
Putusan Pengadilan:
Setelah kerusuhan, empat orang yang ditahan pada 10 September 1984 diadili atas tuduhan menghasut kerusuhan. Ahmad Sahi dihukum 22 bulan penjara, Syarifuddin Rambe dan Sofyan bin Sulaeman masing-masing 2,5 tahun, dan Mohammad Noor 18 bulan.
Setelahnya, 28 orang dari 200 yang ditahan di Rumah Tahanan Militer Cimanggis diadili dengan tuduhan serangan dan kerusuhan, dan dikenakan hukuman penjara antara 1 hingga 3 tahun. AM Fatwa, seorang aktivis yang ditangkap karena membahas Tanjung Priok, dijatuhi hukuman 18 tahun penjara.
Selain itu, penceramah yang mengkritik pemerintah juga diadili. Salim Qadar dan Yayan Hendrayana dijatuhi hukuman karena dianggap memprovokasi kerusuhan melalui ceramah.
Vonis Hakim Ad Hoc:
Aparat militer yang bersalah dihukum 5 hingga 10 tahun penjara, dan negara diwajibkan membayar kompensasi Rp1,15 miliar kepada korban atau keluarganya.
Beberapa tersangka, termasuk mantan Kepala Polisi Militer Kodam V Jaya Mayjen (Purn) Pranowo dan mantan Kepala Seksi Operasi Mayjen Sriyanto, dibebaskan pada Agustus 2004.
Mayjen Rudolf Butar Butar divonis sepuluh tahun penjara. Keluarga korban tidak puas dengan keputusan tersebut dan terus menyerukan keadilan kepada pemerintah.
Sumber: BEM FH UNHAS, https://bemhukumunhas.com/literatur/mengenang-peristiwa-tanjung-priok-1984
Oleh: Aisy
Editor: Redaksi
Posting Komentar