"Kepemimpinan Jawa mengedepankan kebijaksanaan dan pengabdian. Namun, budaya klaim yang merusak nilai-nilai ini makin marak. Untuk mengatasinya, pemimpin perlu kembali pada prinsip satriya dan fokus pada tindakan nyata, bukan sekadar klaim".
GARDAJATIM.COM: Dalam tradisi kepemimpinan Jawa, terdapat nilai-nilai luhur yang telah diwariskan dari generasi ke generasi.
Prinsip-prinsip ini mengajarkan bahwa seorang pemimpin harus bertindak dengan bijaksana, mengutamakan kepentingan rakyat, dan memimpin dengan hati yang tulus.
Namun, di era modern, kita melihat fenomena yang mengkhawatirkan, yaitu munculnya pemimpin tukang klaim.
Mereka mengklaim pencapaian yang sebetulnya bukan hasil kerja kerasnya, melainkan dari pemimpin sebelumnya. Dari sudut pandang kepemimpinan Jawa, perilaku semacam ini tidak hanya mencederai etika, tetapi juga mencerminkan lemahnya nilai-nilai kepemimpinan yang sejati.
KP. H. Andri Winarso Wartonagoro (Jurnalis, Pemerhati Budaya)
Prinsip Kepemimpinan Jawa: Satriya dan Pengabdian
Dalam tradisi Jawa, seorang pemimpin dikenal sebagai seorang satriya, yang diartikan sebagai sosok yang memiliki keberanian, integritas, dan pengabdian yang tulus kepada rakyat. Satriya tidak sekadar memimpin, tetapi juga berperan sebagai pelindung dan pembimbing yang selalu memikirkan kesejahteraan masyarakatnya.
Prinsip utama dalam kepemimpinan Jawa adalah nguwongke wong atau memanusiakan manusia, di mana seorang pemimpin harus menempatkan diri sebagai pelayan bagi rakyatnya, bukan sebagai sosok yang hanya mencari pengakuan atau popularitas.
Namun, dalam realitas politik saat ini, kita sering melihat pemimpin yang jauh dari nilai-nilai satriya.
Pemimpin semacam ini lebih mementingkan citra diri daripada pengabdian kepada rakyat. Mereka lebih suka mengklaim pencapaian yang sudah ada, daripada bekerja keras untuk menciptakan terobosan baru. Ini adalah tanda jelas bahwa prinsip nguwongke wong telah terabaikan, digantikan dengan ego pribadi yang mencari pujian dan pengakuan.
Fenomena Tukang Klaim: Apa Kata Budaya Jawa?
Budaya Jawa sangat menjunjung tinggi konsep andhap asor dan tepa selira, yaitu sikap rendah hati dan empati terhadap orang lain. Seorang pemimpin yang sejati tidak akan mudah mengklaim keberhasilan yang bukan hasil usahanya sendiri. Sebaliknya, dia akan memberikan kredit kepada orang yang benar-benar berperan dalam pencapaian tersebut. Dalam konteks ini, fenomena pemimpin tukang klaim jelas bertentangan dengan budaya Jawa. Mereka yang gemar mengklaim prestasi orang lain dianggap melanggar prinsip andhap asor, karena mengutamakan ego pribadi di atas kepentingan bersama.
Dalam budaya Jawa, ada ungkapan “wong Jawa ora ilang Jawane,” yang berarti orang Jawa tidak kehilangan sifat-sifat kejawaannya. Ini mengingatkan bahwa meskipun berada dalam situasi yang sulit, seorang pemimpin harus tetap berpegang pada nilai-nilai dasar kepemimpinan Jawa. Namun, ketika seorang pemimpin lebih fokus pada klaim daripada tindakan nyata, dia sejatinya telah meninggalkan esensi Jawane dan hanya tersisa simbol tanpa makna.
Kepemimpinan Berdasarkan Harmoni dan Kebijaksanaan
Prinsip harmoni (rukun) dan kebijaksanaan (wicaksana) adalah fondasi dari kepemimpinan Jawa. Seorang pemimpin harus mampu menciptakan keseimbangan antara berbagai kepentingan dan bertindak dengan kebijaksanaan dalam setiap keputusan yang diambil. Namun, ketika seorang pemimpin sibuk mengklaim prestasi, dia sebenarnya sedang menciptakan disonansi dalam tatanan sosial. Alih-alih memupuk rasa saling menghargai, pemimpin seperti ini justru memicu konflik tersembunyi, baik di dalam tubuh pemerintahan maupun di kalangan masyarakat.
Selain itu, pemimpin yang bijaksana memahami bahwa kepemimpinan bukan hanya tentang hasil, tetapi juga tentang proses. Dalam budaya Jawa, proses mencapai tujuan sama pentingnya dengan tujuan itu sendiri. Maka, ketika seorang pemimpin memutuskan untuk mengklaim hasil tanpa menghargai proses yang telah dilalui oleh pendahulunya, dia telah mengabaikan prinsip kebijaksanaan yang seharusnya menjadi pedoman.
Implikasi dari Kepemimpinan Asal Klaim
Jika fenomena pemimpin tukang klaim ini dibiarkan, ada bahaya besar yang mengintai. Budaya klaim tanpa substansi dapat merusak tatanan nilai kepemimpinan Jawa yang selama ini telah menjadi perekat sosial. Dalam jangka panjang, ini dapat menciptakan generasi pemimpin yang hanya peduli pada citra, bukan pada kesejahteraan rakyat. Selain itu, masyarakat akan semakin sulit mempercayai para pemimpin mereka, karena ketulusan dan kejujuran yang seharusnya menjadi dasar dari kepemimpinan telah tergerus oleh ambisi pribadi.
Di sisi lain, budaya klaim juga dapat menghambat perkembangan negara. Pemimpin yang lebih fokus pada klaim daripada inovasi akan cenderung stagnan dan tidak mampu menghadapi tantangan baru. Hal ini bisa berakibat fatal bagi masa depan bangsa, karena kebijakan yang diambil lebih sering didasarkan pada kepentingan jangka pendek daripada visi jangka panjang.
Menuju Kepemimpinan Jawa yang Sejati
Untuk mengatasi fenomena ini, kita perlu kembali pada nilai-nilai dasar kepemimpinan Jawa. Pemimpin harus kembali pada prinsip satriya, di mana pengabdian kepada rakyat menjadi prioritas utama. Sikap rendah hati dan kebijaksanaan harus diutamakan dalam setiap tindakan, serta penghargaan terhadap kerja keras orang lain perlu diperkuat.
Selain itu, pendidikan dan pembinaan calon pemimpin perlu lebih menekankan pada nilai-nilai kebudayaan yang luhur. Dengan cara ini, diharapkan kita dapat melahirkan pemimpin-pemimpin masa depan yang tidak hanya pandai berbicara, tetapi juga tulus dalam bertindak. Kepemimpinan Jawa yang sejati tidak memerlukan klaim yang berlebihan; cukup dengan tindakan nyata dan keberhasilan yang dirasakan oleh rakyat.
Belajar dari Tradisi, Berkaca pada Realitas
Dari sudut pandang kepemimpinan Jawa, pemimpin tukang klaim adalah cerminan dari krisis moral dan etika yang terjadi dalam dunia politik kita saat ini. Jika kita ingin memperbaiki keadaan, kita harus kembali pada nilai-nilai dasar yang telah lama menjadi pedoman dalam tradisi kepemimpinan Jawa. Dengan demikian, kita dapat menciptakan tatanan kepemimpinan yang lebih baik, di mana prestasi diukur dari dampak nyata, bukan dari klaim yang tak berdasar.
Mari kita belajar dari tradisi dan berkaca pada realitas, agar masa depan kepemimpinan di negeri ini tidak jatuh ke tangan mereka yang hanya pandai mengklaim, tetapi kepada mereka yang benar-benar membawa perubahan positif.
Oleh: KP. H. Andri Winarso Wartonagoro (Jurnalis, Pemerhati Budaya)
Editor: Arga Narulata
Posting Komentar