Eyang Suro: Sang Legenda Pencak Silat Indonesia

Ilustrasi Lukisan Ki Ngabei Ageng Soerordiwirdjo.


Gardajatim.com - Tokoh pendiri Setia Hati yang juga diakui sebagai guru besar bagi para aliran pencak silat di Indonesia. Terdapat berbagai versi mengenai kelahiran Eyang Suro yang muncul. 

Meskipun ada perbedaan sekitar enam tahun dalam cerita mengenai silsilahnya, seluruh kehidupannya diceritakan dengan kesamaan.

Oleh karena itu, penulis memutuskan untuk membuat dua versi kelahirannya, dengan perbedaan utama hanya pada tahun kelahiran.

Tahun 1869 (Versi pertama)
Eyang Suro, atau Ki Ngabei Ageng Soerordiwirdjo, atau Ki Ngabehi Soerodiwirjo, nama semasa kecilnya yaitu Muhammad Masdan lahir pada tahun tersebut pada hari sabtu pahing, ia merupakan keturunan dari bupati gresik di kota Surabaya.

Ki Ngabehi Soeromiharjo merupakan nama ayahnya sebagai mantri Cacar Ngimbang (Lamongan) yang mempunyai 5 anak yaitu:

Ki Ngabehi Soerodiwirjo (Masdan)
Noto (Gunari), di Surabaya
Adi (Soeradi), di Aceh
Wongsoharjo, di Madiun
Kartodiwirjo, di Jombang

Tahun 1876 (Versi Kedua)
Ki Ngabei Ageng Soerordiwirdjo, nama singkatnya yaitu Muhammad Masdan, yang lahir pada tahun 1876 di kota Surabaya anak sulung Ki Ngabei Soemiharjo (mantri cacar di ngimbang, Kabupaten Jombang).

Ki Ngabei Soemiharjo adalah saudara sepupu RAA Soeronegoro (Bupati Kediri pada masa itu). Ki Ageng Soerodiwirdjo mempunyai garis keturunan Batoro Katong, Raja pertama di Ponorogo, putra prabu Brawijaya Majapahit.

Tahun 1884/1890, Ki Ageng Soerodiwirdjo berusia 14 tahun, ia lulus Sekolah Rakyat sekarang menjadi SD, yang kemudian diasuh oleh pamannya, Wedono, di Wonokromo.

Tahun 1885/1891 Eyang Suro tepat berusia 15 tahun ikut seorang kontrolir belanda di pekerjakan sebagai juru tulis, tetapi harus magang dahulu (sekarang capeg). Pada usia yang relatif masih muda Ki Ageng Soerodiwirdjo mengaji di pondok pesantren Tebu Ireng Jombang.

Tahun 1885/1892 ia mulai belajar tentang pencak silat di pondok Pesantren Tibu Ireng, kemudian pindah ke Bandung tepatnya di parahyangan.

Di daerah ini ia berkesempatan menambah kepandaian ilmu pencak silat. Ki Ageng Soerodiwirdjo adalah seorang yang berbakat, berkemauan keras dan dapat berfikir cepat, serta dapat menghimpun bermacam-macam gerak langkah permainan pencak silat, antara lain, Cimande, Cikalong, Cibaduyut, Ciampea, dan Sumedangan.

Tahun 1893 ia pindah ke Jakarta, di kota Betawi ini Ki Ageng Soerodiwirdjo hanya tinggal satu tahun, tetapi dapat mempergunakan waktunya untuk menambah pengetahuan dalam belajar pencak silat yaitu, Betawian, Kwitangan, Monyetan, dan Toya.

Tahun 1894 Ki Ageng Soerodiwirdjo pindah ke Bengkulu, karena pada saat itu orang yang di ikutinya (orang belanda) pindah di kota tersebut.

Di Bengkulu permainanya sama dengan di Jawa Barat, enam bulan kemudian pindah ke padang. Di kedua daerah ini Ki Ageng Soerodiwirdjo juga memperdalam dan menambah pengetahuannya tentang dunia pencak silat. Permainan yang diperolehnya antara lain Minangkabau, Permainan padang Pariaman, Permainan padang Sidempoan, Permainan padang Panjang, Permainan padang Pesur/padang baru, Permainan padang sikante, Permainan padang alai, Permainan padang partaikan.

Sedangkan Permainan yang di dapat dari bukit tinggi yakni, Permainan Orang lawah, Permainan lintang, Permainan solok, Permainan singkarak, Permainan sipei, Permainan paya punggung, Permainan katak gadang, Permainan air bangis, Permainan tariakan.

Dari daerah tersebut salah satu gurunya adalah Datuk Rajo Batuah yang juga mengajarkan ilmu kerohanian. Dimana ilmu kerohanian ini diberikan kepada murid-muridnya di tingkat II.

Tahun 1897 (versi pertama)
Ketika genap berusia 28 tahun, Eyang Suro jatuh cinta kepada seorang gadis padang. Putri dari seorang ahli kebatinan yang berdasarkan agama islam (Tasawuf).

Untuk mempersunting gadis ini, ia harus memenuhi persyaratan dengan menjawab pertanyaan dari gadis pujaannya (versi kedua yang membuat pertanyaan itu mertuanya) yang berbunyi “Siapakah sesungguhnya Masdan? Dan siapakah sesungguhnya saya ini?". 
Karena ia tidak bisa menjawab pertanyaan itu berdasarkan pikirannya sendiri, maka ia berguru kepada seorang ahli kebatinan yang bernama Nyoman Ida Gempol.

Nyoman Ida Gempol adalah seorang pungggawa besar dari Kerajaan Bali yang dibuang Belanda ke kota Padang, Sumatera, dan dikenal dengan nama Raja Kenanga Mangga Tengah.

Tahun 1898 setelah persyaratan yang diminta oleh gadis pujaannya dapat terjawab dengan menggukan ilmu setia hati, dengan demikian ia berhasil mempersunting gadis padang, putri ahli tasawuf. Dan dari hasil pernikahan tersebut mereka belum mendapakan keturunan.

Ia bersama dengan istrinya kemudian merantau ke Banda Aceh, di tempat ini Ki Ageng Soerodiwirdjo berguru kepada beberapa guru pencak silat, diantaranya, Tengku Achamd Mulia Ibrahim, Gusti Kenongo Mangga Tengah, dan Cik Bedoyo.

Dari sini Ki Ageng Soerodiwirdjo meperoleh pelajaran Permainan aceh pantai, Permainan kucingan, Permainan bengai lancam, Permainan simpangan, dan Permainan turutung.

Tahun 1900 Eyang Suro kembali ke Betawi bersama istrinya dan bekerja sebagai masisnis stoom wals. Namun sayangnya ia bercerai dengan istrinya. Setelah berpisah, Eyang Suro pindah ke kota Bandung, sedangkan mantan istrinya kembali ke Padang.

Tahun 1902 Ki Ageng Soerodiwirdjo kembali ke Surabaya dan bekerja sebagai anggota polisi dengan pangkat mayor polisi hingga mencapai pangkat sersan mayor.

Di kota Surabaya ia terkenal dengan keberaniannya dalam memberantas kejahatan. Kemudian ia pindah ke kota Ujung, dan sering terjadi keributan dengan pelaut asing.

Tahun 1903 di daerah tambak Gringsing untuk pertama kali Ki Ageng Soerodiwirdjo mendirikan perkumpulan mula-mula di beri nama 'SEDULUR TUNGGAL KECER' dan permainan pencak silatnya bernama 'JOYO GENDELO', pada hari jumat legi tepatnya 10 Syuro 1323 H

Tahun 1905 untuk kedua kali ia melangsungkan pernikahan dengan Sarijati, yang saat itu berusia 17 tahun dan dikaruniai 3 orang putra dan 2 orang putri. Sayangnya kelima putra-putrinya sewaktu masih kecil meninggal dunia.

Tahun 1912 ia berhenti dari kepolisian Dienar bersamaan dengan meluapnya rasa kebangsaan Indonesia yang dimulai sejak tahun 1908. Ia kemudian pergi ke Tegal dan ikut seorang paman dari almarhum saudara Apu Suryawinata, yang menjabat sebagai Opzichter Irrigatie.

Tahun 1914 ia kembali lagi ke Surabaya dan bekerja pada D.K.A. Surabaya. Selanjutnya ia pindah ke Madiun di Magazine D.K.A. dan menetap di Desa Winongo Madiun.

Tahun 1917 Sedulur Tunggal Kecer tersebut berganti nama, dan berdirilah pencak silat PERSAUDARAAN SETIA HATI (SH) yang berpusat di Madiun.

Tujuan perkumpulan tersebut diantaranya, agar para anggotanya (warga) mempunyai rasa Persaudaraan dan kepribadian Nasional yang kuat, karena pada saat itu Indonesia sedang di jajah oleh bangsa Belanda.

Tahun 193 ia pensiun dari jabatannya dan menetap di desa Winongo, Madiun.

Tahun 1944 ia memberikan pelajaran terakhir di Balong Ponorogo, dan kemudian jatuh sakit. Ki Ageng Soerodiwirdjo wafat pada hari jumat legi tanggal 10 November 1944, jam 14.00, bulan selo 1364 H, dikediamannya desa Winongo. Jasadnya dikebumikan di makam Winongo, Madiun, dalam usia enam puluh delapan tahun.

Wasiat KI Ageng Soerodiwirjo:

Jika saya sudah pulang ke rahmatullah supaya saudara–saudara SETIA HATI tetap bersatu hati, tetap rukun lahir batin.
Jika saya meninggal dunia harap saudara–saudara SETIA HATI memberikan maaf kepada saya secara tulus ikhlas. (Fjr)

0/Post a Comment/Comments